“MAKAN DAN
MINUMLAH DAN JANGAN BERLEBIH-LEBIHAN”
(1)
Menurut
Ibnu Abbas, dalam ayat ini Allah Subhanahu Wata’ala menghalalkan makan dan
minum selama tidak berlebihan. Makanan dan minuman yang sesuai dengan kebutuhan
adalah yang dapat menghilangakn rasa lapar dan dahaga. Hal ini menurut Syari’at
dan logika sangat dianjurkan. Dikarenakan yang seperti ini dapat menjaga
kesehatan jiwa dan indera. Oleh karena itu, syari’at melarang untuk makan
secara berlebihan, dikarenakan dapat melemahkan badan dan mematikan jiwa, serta
mengendurkan semangat beribadah. Atas alasan ini, maka syari’at melarang dan
akal sehat pun menolak. Orang yang tidak mendapatkan makanan yang sesuai dengan
kebutuhannya, bukan berarti dia tidak mendapatkan keberuntungan orang-orang
yang berbuat baik dan mendapatkan bagian dari kenikmatan orang yang zuhud.
Karena, orang yang dihadapkan pada suatu kesulitan berupa stamina fisik yang menurun
dikarenakan melakukan ketaatan, maka akan mendapatkan ganjaran pahala yang
lebih banyak dan lebih besar.
Para ulama
sendiri berbeda pendapat mengenai takaran makanan berlebihan :
Pendapat
Pertama mengatakan : “Hukumnya Haram”
Sedangkan
pendapat kedua mengatakan : “Hukumnya Makruh”
Ibnu
Al-Arabi berkata : “Pendapat inilah yang shohih, karena ukuran kenyang
berbeda-beda antara satu Negara dengan Negara lain, satu masa dengan masa lain,
dan ukuran kepuasan seseorang dengan orang lain.”
Ada yang
mengatakan bahwa sedikit makan itu mengandung banyak manfaat. Dan diantara
manfaat tersebut adalah seseorang akan menjadi lebih sehat, lebih baik daya
ingatnya, lebih jernih pemahamannya, lebih sedikit tidur, dan lebih ringan
jiwanya. Sedangkan banyak makan itu dapat merusak lambung, usus dan perut.
Semua itu pada akhirnya menimbulkan berbagai macam penyakit. Selain itu, orang
yang banyak makan lebih membutuhkan pengobatan daripada orang yang makannya
sedikit (secukupnya).
Beberapa
ahli hikmah berkata, “Obat yang paling baik adalah mengetahui takaran makan.”
Rosululloh
Shalallohu ‘Alaihi Wassalam sendiri menjelaskan makna mengenai hal ini secara
jelas dan tidak perlu lagi dijelaskan lebih lanjut dari para Thabib. Beliau
bersabda :
مَا مَلَأَ
آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ
صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ
وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
"Anak
Adam (Manusia) tidak memenuhi wadah yang buruk melebihi perut, cukup bagi anak
Adam (manusia) beberapa suapan yang menegakkan tulang punggungnya, bila tidak
bisa maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumnya dan sepertiga
untuk nafasnya."
Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dari Miqdam bin Ma’di Karib.
Para ulama
kita berkata, “Apabila orang mau mendengarkan pembagian ukuran makanan yang
dikonsumsi, maka orang akan takjub dari hikmah yang terkandung di dalamnya.”
Disebutkan
Bahwa Khalifah Harun Ar-Rosyid memiliki seorang Dokter Nashrani yang pandai.
Dia pernah berkata kepada Ali bin Husain, “Dalam kitab Suci kalian tidak ada
satupun yang menyinggung tentang ilmu Pengobatan. Padahal ilmu tersebut ada dua
: ‘Ilmu Dien dan Ilmu Badan.’ Ali berkata kepadanya, ‘Allah Subhanahu Wata’ala
telah menghimpun ilmu tentang Pengobatan dalam seperuh bagian dari kitab suci
kami. ‘Dia bertanya kepada Ali, ‘Ayat apakah itu..?’ Dia (Ali) kemudian
membawakan Firman Allah Subhanahu Wata’ala :
وَكُلُواْ
وَٱشۡرَبُواْ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ
(Makan dan
minumlah, dan jangan berlebih-lebihan)
Orang
Nashrani itu kemudian berkata : “Tidak ada Atsar (hadits) yang berasal dari
Rosul kalian sedikitpun tentang Pengobatan.” Ali berkata, “Rosulullo Shalallohu
‘Alaihi Wassalam telah menghimpunkan ilmu tentang Pengobatan pada lafazh-lafazh
yang sederhana.” Orang Nasrani tersebut bertanya, “Apakah itu..?” Ali Menjawab
“Lambung itu adalah rumah bagi Penyakit’ dan Al-Himyah Pokok dari seluruh
Dawaa’. Oleh karena itu, berikanlah pada setiap bagian badan apa-apa yang dapat
membuatnya sehat.”
Orang
Nashrani tersebut berkata : “Kitab Suci kalian dan Nabi kalian tidak
meninggalkan untuk Galenos Pengobatan.”
Saya
Katakan (Imam Al-Qurthubi) :
“Sesungguhnya
Mengobati penyakit ada dua bagian, yaitu : sebagian dengan obat dan sebagian
dengan Al-Himyah. Maka barangsiapa mengumpulkan keduanya maka sungguh seakan
engkau memisahkan orang dengan penyakit dan menjadi sehat. Dan apabila tidak
maka dengan Al-Himyah lebih diutamakan. Dikarenakan tidak bermanfaat Obat
apabila bersamaan dengan meninggalkan Al-Himyah. Dan sungguh bermanfaat
Al-Himyah meskipun disertai dengan meninggalkan obat. Dan sungguh telah berkata
Rosululloh Shalallohu ‘Alaihi Wassalam bersabda :
أصل كل
دواء الحمية
“Pokok
Seluruh Obat adalah Al-Himyah”
Dan
Maknanya dengannya yakni Al-Himyah -wallahu a’lam- maka Obat-obatan apapun
tidak dibutuhkan lagi. Oleh karena itu ada yang mengatakan : “sesungguhnya
Orang India semua melakukan pengobatan dengan Al-Himyah, yaitu dengan cara
mencegah orang yang sakit makan, minum, dan berbicara selama beberapa hari
hingga dia akhirnya sembuh dari penyakit dan kembali sehat.
HADITS
IMAM MUSLIM DARI IBNU UMAR (2)
Imam
Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar berkata, “Aku mendengar Rosululloh
Shalallohu ‘Alaihi Wassalam bersabda :
الْكَافِرُ
يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ وَالْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِي مِعًى وَاحِدٍ
"Orang
kafir itu makan dengan tujuh usus, sementara seorang mukmin hanya makan dengan
satu usus."
Rosululloh
Shalallohu ‘Alaihi Wassalam menganjurkan untuk memperkecil keinginan duniawi
dan bersikap zuhud dan qona’ah. Bangsa Arab sendiri memuji orang yang makannya
sedikit dan mencela orang yang makannya banyak.
Perut
cukup diisi dengan sepotong daging jika menyadari
Dan diberi
minum sedikit air
Hatim Ath
Tha’i juga mencela orang yang banyak makan dalam bait syairnya,
Sungguh
jika engkau memenuhi keinginan perut dan kemaluan secara berlebihan,
maka
keduanya akan sampai pada puncak kehinaan
Al-Khaththabi
berkata : bahwa makna dari Sabda Rosululloh Shalallohu ‘Alaihi Wassalam,
“Seorang mukmin makan denagn satu usus,” adalah, bahwa seorang mukmin itu makan
namun tidak sampai kenyang, dikarenakan hal ini akan mempengaruhi kejiwaannya
dan merupakan sikap yang baik dikarenakan mau menyisakan makanan tersebut buat
orang lain. Apa yang dia makan sudah cukup membuatnya puas. Namun penafsiran
yang pertama tentang hal ini lebih baik. Wallahu A’lam
Ada yang
berkata bahwa makna sabda Nabi Shalallohu ‘Alaihi Wassalam, “Orang Kafir makan
dengan tujuh usus” adalah tidak dapat disamaratakan secara umum lantaran
kenyataan yang membatasi pernyataan tersebut. Sebab ada juga orang kafir yang
makannya sedikit daripada mukmin. Ada orang kafir yang tidak sedikit makan dan
juga tidak banyak. Suatu ketika Rosulloh Shalalohu ‘Alaihi Wassalam kedatangan
tamu orang kafir, bahwasanya ada yang mengatakan bahwa orang kafir tersebut
adalah Jahjah Al-Ghifari, ada yang mengatakan Tsumaamah bin Atsal, da nada yang
mengatakan Nadholah bin Amru Al-Ghifari, da nada yang mengatakan Bashroh bin
Abi Bashroh Al-Ghifari. Dia meminum susu dari tujuh kambing. Setelah dia masuk
Islam dan hanya meminum susu dari satu kambing, namun hal tersebut tidak
membuat dirinya merasa puas. Lalu Rosululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam
bersabda sebagaimana hadits diatas.
Hal ini
seolah-olah menyatakan bahwa beliau bersabda, “Orang ini adalah orang kafir.”
Wallahu A’lam. Dan dikatakan bahwa Qolbu ketika diterangi oleh cahaya tauhid,
maka dia akan memandang makanan dengan pandangan takwa dan ketaatan. Dia akan
mengambil makanan itu sebanyak yang dia butuhkan saja. Namun disaat cahaya
Qolbu redup dikarenakan kekufuran, maka dia akan menyantap makanan layaknya
binatang yang kekenyangan kemudian bersendawa.
Ungkapan
usus-usus dalam hadits tersebut menimbulkan perbedaan pendapat, apakah yang
dimaksud adalah usus sebenarnya atau bukan..?
Ada yang
berpendapat bahwa yang dimaksud adalah usus dalam arti yang sebenarnya. Usus
tersebut memiliki nama yang sudah lazim dikenal di kalangan ahli Ilmu
Pengobatan. Ada juga yang mengatakan bahwa ia hanya kiasan saja mengenai tujuh
penyebab seseorang makan, yaitu : untuk kebutuhan, mendapatkan berita tentang
makanan, mencium aromanya, melihat, menyentuh, merasakan, dan memiliki kekayaan
yang bertambah.
Ada juga
yang berpendapat bahwa maksudnya adalah makanan layaknya orang yang memiliki
tujuh usus. Dengan sedikitnya makanan yang dia makan, orang beriman makan
makanan seperti halnya orang yang hanya memiliki satu usus saja. Sementara
orang kafirpun sama dengan salah satu bagian dari makanan yang dimakan oleh
seorang Mukmin. Hanya saja orang kafir menambah makanannya tujuh kali. Dan,
maksud dari lafaz معى (Mi’aan) dalam hadits tersebut adalah Al-Maidah
Saudaramu : Irfan Fauzi
Sumber : di rangkum dari buku Kaidah dasar ilmu pengonatan klasik & thibbun nabawi
Saudaramu : Irfan Fauzi
Sumber : di rangkum dari buku Kaidah dasar ilmu pengonatan klasik & thibbun nabawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon Kritik dan Saran Anda